Wednesday, February 28, 2007

YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR


MISTERI RUMAH BERHANTU


Siang itu, si kembar, Yudha dan Nadine bersama ketiga orang teman, Ayonk, Noval dan Ferdy sedang bermain di rumah Icha, tetangga mereka. Sedari tadi mereka seru sekali membahas tentang rumah kosong yang berhantu. Rumah kosong itu letaknya satu blok dari rumah si kembar. Rumah si kembar terletak di blok X sedangkan rumah yang sedang jadi bahan obrolan seru berada di blok Y.

“Masa sih ada hantu di sana?” tanya Icha sambil merapatkan badannya mendekati Nadine.

“Benar, bang Ujo yang bercerita pada aku dan Noval kemarin sore,” ujar Ferdy.

“Iya, anak-anak di blok Y sudah tahu semua,” tambah Noval.

“Rumah kosong yang kalian maksud yang mana sih?” tanya Nadine bingung. Maklumlah, si kembar memang penghuni baru dan baru tiga bulan mereka menempati rumah mereka di sini.

“Itu loh rumah yang letaknya paling ujung di blok Y,” Noval menjelaskan, “kalau kalian ingin tahu, kita ke sana yuk.”

“Waduh….jangan! masa kalian tidak takut sih?” Ayonk ketakutan.

“Kalau siang hari begini, hantunya nggak ada,” ujar Ferdy, “pada mau ke sana nggak?”

“Aku penasaran deh, kita ke sana yuk, Nad,” ajak Yudha pada kembarannya.

Nadine tampak ragu apalagi kedua temannya, Icha dan Ayonk menolak ikut pergi ke rumah kosong itu. Anak perempuan manis berambut sebahu ini menoleh pada Yudha, meminta pendapat pada kembarannya.

“Tenang, kita kan nggak masuk sampai ke dalam rumahnya, kita lihat dari depan rumahnya saja deh,” ujar Yudha.

Akhirnya bersama Ferdy dan Noval, si kembar mendatangi rumah kosong yang katanya berhantu. Hih….rumah itu tampak sudah tua, dindingnya kusam dengan separoh gentingnya sudah tidak ada. Rumput-rumput dan tanaman liar tampak menyesaki halaman rumah yang tidak seberapa luas dan mulai merambati dinding yang catnya sudah mengelupas. Sepertinya rumah yang sudah kehilangan daun pintu depan dan jendela-jendelanya sebentar lagi pasti roboh.

“Lihatlah, menyeramkan bukan?” desis Ferdy.

“Ada yang berani masuk ke dalam?” tanya Noval.

Tapi tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Si kembar dan dua temannya tampak melongo dengan muka pucat.

“Lariii………itu hantunya…..”jerit Noval langsung lari terbirit-birit meninggalkan teman-temannya. Si kembar dan Ferdy saling pandang dengan mimik ketakutan sebelum ikut lari menyusul Noval meninggalkan rumah berhantu itu.

Cerita tentang si kembar dan teman-temannya bertemu hantu di rumah kosong telah tersebar luas.

“Memangnya kalian melihat hantu itu?” tanya Saski, kakak perempuan satu-satunya si kembar yang sudah duduk di kelas enam. Sore itu mereka sedang duduk di teras depan.

“Nggak kak, cerita itu dibumbui oleh Ferdy dan Noval saja,” ujar Nadine tak suka.

“Tapi bang Ujo sudah pernah melihatnya,” ujar Yudha, “Nad, kita selidiki nanti malam yuk,” desis Yudha pelan ke telinga Nadine, takut kedengaran oleh Saski.

“Hih…sekali ini aku nggak ikutan Yud, ngeri,” bisik Nadine.

“Eh, itu bang Ujo,” seru Saski, “bang Ujo, sini!”

Bang Ujo, penjaga malam komplek, tampak berjalan mendatangi mereka.
“Ada apa?” tanya bang Ujo, “oh ya….kalian benar melihat hantu tadi siang?” Bang Ujo tampak antusias.

“Ah…ceritanya tidak seperti itu,” ujar Yudha, “bang Ujo sendiri katanya pernah melihat hantu di rumah kosong itu, tampangnya bagaimana bang?”

Bang Ujo lalu mengambil duduk di lantai dan bersandar di pilar,” iya, bang Ujo sendiri selalu bergidik kalau mengingatnya. Setiap malam abang kan selalu berkeliling di komplek kita. Nah, suatu kali, ketika melewati rumah kosong itu, abang curiga karena tampak bayangan berkelebat di dalam rumah itu. Abang segera masuk dan memeriksa sampai ke ruang bagian dalam. Tiba-tiba bang Ujo mendengar suara pintu depan diketuk tiga kali. Tadinya abang tak percaya, tapi ketukan itu terdengar berkali-kali dan ketika abang membuka pintu depan, tampak hantu yang sangat menakutkan berdiri di depan abang. Abang lalu lari secepatnya dari sana,” bang Ujo tampak semangat sekali bercerita.

“Hih…..seram sekali sih ceritanya,” ujar Nadine lalu menggeserkan duduknya mendekat Saski.

Tapi Yudha tampak tersenyum-senyum melihat bang Ujo.

“Kamu kenapa? Memangnya tidak takut?’ tanya bang Ujo heran, biasanya anak-anak akan sangat ketakutan setelah mendengar ceritanya yang seram itu tapi kali ini anak laki-laki di depannya ini malah terkekeh seperti ini.

“Haha…..aku tahu kalau bang Ujo bohong!” cetus Yudha dengan muka geli.

“Maksud kamu?” bang Ujo kaget melihat reaksi Yudha.

“Ngaku saja deh bang, abang bohong kan?” desak Yudha lagi, “Kalau bang Ujo nggak ngaku, kita akan lapori bang Ujo ke Pak RT kalau bang UJo telah mengarang cerita bohong dan membuat takut anak-anak di sini!”

Bang Ujo tampak pucat mendengar kata-kata Yudha. Ditatapnya wajah anak lelaki yang masih cengar-cengir melihatnya. Saski dan Nadine pun ikut bingung.

“Udah deh, kita nggak akan melapor, tapi bang Ujo ngaku saja, hayooo….”tambah Nadine ikutan padahal dia sendiri masih belum mengerti apa yang ada dalam pikiran Yudha.

“Iya deh….bang Ujo ngaku,” ujar bang Ujo mulai tertawa,” itu memang akal-akalan bang Ujo saja. Tapi ini demi keamanan anak-anak di sini kok.”

“Maksud bang Ujo?” tanya Saski bingung.

“Kalian tahu kan, bagaimana kondisi rumah kosong itu? Genting-genting dan atapnya bisa jatuh kapan saja. Nah itu sangat berbahaya bila ada yang memasuki rumah itu. Bang Ujo perhatikan rumah itu sering digunakan sebagai tempat main petak umpet anak-anak di sini,” jelas bang Ujo.

Yudha, Nadine dan Saski jadi melongo mendengar cerita bang Ujo.

“Oh…jadi suara berisik yang kita dengar itu bersumber dari atap atau genting yang jatuh ya?” cetus Nadine geli.

“Tapi bang Ujo harus menceritakan kebenaran ini dengan anak-anak di sini, ”kata Yudha, “bang Ujo telah membuat anak-anak pada ketakutan

“Iya deh…janji, tapi…kamu koq bisa tahu sich kalau bang Ujo bohong?” tanya bang Ujo.

“Hehe….. bang Ujo penasaran ya?” tanyaYudha terkekeh geli.

Tentu saja bukan hanya bang Ujo yang penasaran, tapi Nadine dan Saski pun ikut bingung. Yudha masih ada terpingkal-pingkal sebelum menjelaskan pada bang Ujo dan kedua saudaranya apa yang menyebabkan dai tahu kalau selama ini cerita bang Ujo itu adalah bohong belaka.


Jawabannya :

Sebelum bang Ujo bercerita, Yudha telah melihat bagaimana kondisi rumah tersebut. Rumah kosong itu sudah kehilangan dauh pintu depannya. Lalu bagaimana mungkin ada hantu mengetuk pintu depan berkali-kali dan bang Ujo melihat hantu berdiri di depannya setelah pintu depan dibuka olehnya.
Ada dua kesalahan :mengetuk pintu dan membuka pintu depan!

YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR

MISTERI POT BUNGA YANG PECAH


Film kartun Detektif Conan baru saja mulai di layar televisi ketika terdengar teriakan tante Maya dari teras rumah. Nadine, Yudha dan Audi segera berhamburan keluar rumah. Tampak oleh mereka tante Maya sedang berjongkok di depan pot-pot bunga milik oma.

“Ada apa, tante?” tanya Nadine menghampiri tante Maya.

“Kalian tahu siapa yang memecahkan pot bunga ini?” tante Maya berdiri dan berbalik menghadap ke arah ketiga keponakannya.

Nadine dan saudara-saudaranya terkejut mendapati sebuah pot bunga tampak tergeletak pecah dengan tanah hitam mengotori lantai keramik yang putih.

“Nadine nggak tahu, tante,” kata Nadine diikuti anggukan Yudha dan Audi.

“Wah…kita harus menyelediki ini, Nad,” bisik Yudha.

Audi tertawa, “aduh….para detektif cilik ini, paling nggak bisa diam kalau ada yang harus diselidiki.”

Nadine dan Yudha tertawa. Hari Minggu ini mereka sedang menginap di rumah oma bersama Audi, sepupu mereka. Oma sedang pergi keluar kota dan Tante Maya lah yang bertanggung jawab untuk menjaga rumah dan keponakan-keponakannya. Mendengar kata-kata Audi, tante Maya menatap mereka bingung.

“Menyelidiki apa?” tanya tante Maya.

“Siapa yang memecahkan pot bunga oma ini, tante,” jawab Yudha.

“Yah sudah, tapi sebelumnya kalian bantu tante membersihkan lantai ini ya,” ujar tante Maya disambut anggukan ketiga keponakannya itu.

Sorenya, Yudha dan Nadine asyik mencatat hal-hal penting di buku saku mereka masing-masing. Begini ini isi catatan mereka : Ada delapan orang yang menginap di rumah oma dari hari Sabtu sore sampai Minggu pagi. Tante Maya, Nadine, Yudha, Audi, Bimo, Gilang, mbak Ipah dan Pak Karyo.

“Kita harus menanyai mereka satu persatu,” kata Yudha, “tentu saja kecuali tante Maya dan kita bertiga.”

Audi tertawa melihat gaya kedua sepupunya yang bergaya seperti detektif conan saja. Tapi tak urung dia ikut semangat.

Akhirnya mulailah mereka menanyai satu persatu. Pak Karyo, sopir oma, sampai terpingkal-pingkal melihat gaya mereka. Sedangkan mbak Ipah malah ketakutan. Nadine sampai harus membujuk mbak Ipah kalau mereka bukan menuduh mbak Ipah yang memecahkan pot bunga oma tapi hanya ingin mencari tahu saja. Bimo dan Gilang, sepupu-sepupu mereka, anak-anaknya tante Maya cuma tersenyum kecut melihat tingkah Yudha dan Nadine.

“Nah, sekarang kita harus mencermati apa yang telah kita catat,” ujar Yudha pada Nadine dan Audi. Yudha lalu mulai menyusun hasil penyelidikan mereka dan hasilnya begini :

Pertanyaan yang diajukan oleh Yudha dan Nadine :
Tahukah (mbak Ipah, Pak Karyo, Bimo, Gilang) siapa yang memecahkan pot bunga oma?
Jawaban mereka ketika ditanya :

Mbak Ipah :

“Aduh, mbak tidak tahu, kemarin sore sampai malam mbak sibuk di dapur dan subuh tadi ketika mbak membersihkan teras, pot itu masih belum pecah.”

Pak Karyo :

“Walah… dari semalam sampai pagi ini, Bapak kan berdiam diri saja di kamar samping rumah dan tidak pernah main ke teras depan.”

Bimo :

“Nggak tahu deh! Kan dari semalam aku main play station dan pagi ini sampai siang tadi aku main sepeda. Lagian pot bunga oma kan banyak, pecah satu tidak mengapa kan?”

Gilang :

“Aku sich dari semalam sampai siang ini belum pernah keluar rumah kan? Kalian lihat sendiri aku asyik baca komi.. Udah deh, oma nggak bakal marahlah, kan bunga anggreknya bisa dipindahkan ke pot lain!”

Nadine membaca ulang catatan yang telah disusun oleh Yudha itu. Audi pun tertarik sekali memperhatikan penyelidikan ala sepupu-sepunya itu.

“Nah….di dalam catatan ini kita dapat mengetahui alibi masing-masing,” ujar Yudha.

“Apa itu alibi?” tanya Audi bingung.

“Alibi adalah alasan seseorang tidak berada di tempat kejadian pada saat peristiwa terjadi,” jelas Yudha.

Audi mengangguk mengerti mendengar penjelasan Yudha.

“Yud, sepertinya aku tahu siapa orangnya,” desis Nadine.

“Siapa?” tanya Audi terkejut.

“Gilang,” ujar Nadine cepat.

Yudha tampak berpikir sebentar dan mengangguk-anggukan kepalanya,” Hebat Nad, kau tahu lebih dulu dari aku,” puji Yudha, “Yah…Gilanglah yang memecahkan pot bunga oma.”

“Ayo kita temui Gilang sekarang,” ujar Nadine.

“Hei…tapi jelaskan dulu bagaimana kalian tahu kalau Gilanglah pelakunya?” tanya Audi bingung.

Dan setelah dijelaskan oleh Nadine, Audi mengacungkan dua jempolnya pada Yudha dan Nadine.

Nah, dari mana Nadine dan Yudha bisa menyimpulkan kalau Gilanglah yang memecahkan pot bunga oma?

Jawaban :

Dari jawaban Gilang yang mengatakan : ….. kan bunga anggreknya bisa dipindahkan ke pot lain!” Nah, bagaimana Gilang tahu kalau pot bunga yang pecah adalah pot bunga anggrek, padahal Nadine dan Yudha tidak menyebutkan nama bunganya. Sedangkan Gilang sendiri yang meyakinkan mereka kalau dari malam sampai siang, dia asyik membaca komik.





YUK JADI DETEKTIF

SERIAL DETEKTIF KEMBAR

MISTERI HILANGNYA KASET PLAY STATION
Yudha sedang membaca buku cerita detektif yang baru dipinjamnya dari Aldi, teman sekelasnya, ketika Yoga masuk ke kamarnya dengan nafas tersengal-sengal. Dibelakangnya tampak Nadine mengekori Yoga masuk.

“Ada apa?” tanya Yudha bingung..

“Gawat, Yud,” ujar sepupunya sambil mengatur nafasnya.

Yudha membiarkan Yoga tenang dulu. Ditutupnya buku cerita yang baru dua puluh halaman dibacanya.

“Yoga dituduh mencuri kaset play stationnya Wawan,” Nadine, kembarannya Yudha membantu Yoga menjelaskan.

Yudha mengernyitkan dahinya. Dia kenal betul siapa sepupunya ini. Yoga memang hobby sekali main play station, tapi masa sih Yoga mencuri?

“Siapa yang menuduh kamu?” tanya Yudha mulai beraksi seperti seorang detektif. Anak laki-laki berusia sembilan tahun ini memang suka sekali membaca detektif dan bercita-cita menjadi seorang detektif.

“Rio dan Bagus,” jawab Yoga setelah agak tenang, “kemarin kami bertiga main play station di kamar Wawan sampai sore. Tapi tak satu pun dari kami yang meminjam kaset play stationnya Wawan. Tiba-tiba siang tadi di sekolah, Wawan menanyai aku, Rio dan Bagus apakah kami meminjam kaset Sims 2 Pets nya. Katanya kaset itu hilang.”

Yudha manggut-manggut,” begini saja, besok kamu ajak Rio dan Bagus untuk berkumpul di rumah Wawan. Aku dan Nadine ikut pergi bersama kamu, mudah-mudahan masalah ini bisa kita pecahkan.”

Sore ini Yudha, Nadine dan Yoga sudah berkumpul di teras rumah Wawan. Rio dan Bagus belum tampak batang hidungnya. Sambil menunggu kedatangan Bagus dan Rio, Yudha dan Nadine mengajak Wawan ngobrol. Yoga cuma diam saja, dia duduk di kursi di pojok teras dengan sebal. Sepertinya Wawan percaya dengan tuduhan Rio dan Bagus kalau Yoga yang mencuri kaset play stationnya. Sedari tadi Wawan tidak menyapa Yoga.

“Wan, sejak kapan, kau tahu kalau kaset play station mu hilang?” tanya Yudha.

“Kemarin pagi ketika adikku mau menyetel kaset itu,” ujar Wawan, “adikku jadi marah padaku karena telah menghilangkan kaset itu, padahal kami belum pernah memainkannya satu kalipu.”

“Lalu sore ketika Yoga dan teman-temanmu datang main play station, kalian tidak menyetelnya?” tanya Nadine, dia mengerti kekesalan Wawan.

“Hari keburu malam ketika kami baru mau menyetelnya, yah….nggak jadi!” cetus Wawan manyun.

“Oh iya koq bisanya Yoga yang dituduh mencuri kasetmu?”

“Oh… Rio elihat kalau Yoga yang terakhir memegang kaset itu sebelum mereka pulang.”

Nadine dan Yudha tampak berpikir. Selang kemudian dua orang anak laki-laki masuk ke halaman rumah Wawan.

“Wah..sudah kumpul,” kata Bagus yang memakai kaca mata.

“Sebenarnya ada apa sih kok kami dipanggil?” tanya Rio.

“Begini, Yudha dan Nadine ingin membantu menemukan kasetku yang hilang itu.”

Bagus dan Rio menunjukkan muka tak suka.

“Yaa… siapa tahu justru Wawan yang teledor dan lupa tempat menyimpannya,” kata Nadine mencoba mencairkan suasana yang panas.

“Teman-teman, kita ngobrol di dalam yuk,” ajak Wawan cepat.

Yudha, Nadine dan yang lainnya pun masuk ke ruang tamu yang nyaman. Suasanapun jadi agak tenang. Mereka lalu duduk di sofa yang empuk mengelilingi sebuah meja kaca kecil.

“Rio, katanya kamu melihat Yoga yang terakhir memegang kasetnya Wawan?” tanya Yudha memecah keheningan.

“Benar, ketika kami akan pulang, Yoga tampak memegang dan mengamati kaset itu,” ujar Rio.

“Tapi itu tidak berarti aku pencurinya!” hardik Yoga marah, “mungkin kau sendiri yang mengambilnya, atau Bagus!”

Karena namanya disebut-sebut, Bagus pun jadi emosi. Padahal sedari tadi dia diam seribu bahasa dan bersikap acuh saja.

“Enak saja! Kau pikir aku mau saja mencuri kaset rusak kayak gitu!” seru Bagus. Mukanya merah karena marah.

“Apa lagi aku, koleksi kaset play station ku banyak, tahu!” tukas Rio.

“Habisnya kalian menuduh aku sih!” cetus Yoga kesal.

“Sudah…sudah…..kalau kalian bertengkar begini, lebih baik kalian pulang saja deh. Biarin saja lah kasetku hilang dari pada suasana nggak enak begini,” tegur Wawan.

Yoga, Rio dan Bagas langsung diam dengan muka tegang. Yudha dan Nadine tampak manggut-manggut mengamati pertengkaran Yoga dan teman-temannya itu. Tiba-tiba Yudha teringat sesuatu. Otaknya segera menghubungkan puzzle puzzle yang berserakan di ruang pikirnya.

“Yap…”Yudha menjentikkan jarinya. Segera ditariknya lengan Nadine dan Wawan wawan ke luar rumah. Mereka tampak berbisik-bisik.

“Aku sudah tahu pencurinya,” bisik Nadine serta merta. Rupanya dari tadi dia pun berpikir dan mengambil kesimpulan.

“Justru itu, aku pun sudah tahu orangnya,” ujar Yudha pelan,” kami akan memberitahumu nanti melalui telepon. Sekarang kau bilang deh pada mereka, kalau sepertinya kau sendiri yang lupa menyimpan kaset itu. Yah…untuk mencegah pertengkaran lebih panjang!”

Yudha . Nadine dan Wawan lalu masuk kembali ke dalam ruang tamu.

“Teman-teman, jangan bertengkar lagi deh! Sepertinya aku yang lupa menyimpannya, tapi entah di mana,” ujar Wawan, “sekarang kalian baikan dong…”

Setelah dengan ogah-ogahan, Rio, Bagus dan Yoga berdamai dan bersalaman, semuapun pamit pulang pada Wawan. Yoga ikut Nadine dan Yudha ke rumah sepupunya itu. Sebegitu sampai di rumah, Yudha langsung menelepon Wawan yang memang telah menunggu teleponennya dan memberi tahu siapa yang mencuri kaset play station miliknya itu. Wawan kaget ketika Yudha memberitahunya.

“Bagus yang mencuri? Dari mana kalian tahu?”tanya Wawan.

“Begini…”jelas Yudha yang tak urung membuat Yoga pun takjub.

Nah….dari mana Yudha dan Nadine tahu kalau Baguslah pencurinya?
Silahkan pikirkan sebelum melihat jawaban di bawah ini yaa…
JAWABAN :
Bagas sempat berseru : Enak saja! Kau pikir aku mau saja mencuri kaset rusak kayak gitu!
Nah, dari mana Bagus tahu kalau kaset itu rusak padahal kaset itu belum sempat mereka putar di rumah Wawan.







Monday, February 26, 2007

KAOS KAKI KEBERUNTUNGAN

”Uugg sebal, sepertinya aku memang tidak berbakat jadi pemain badminton,” keluh Dodi sambil masuk ke rumah. Arman, kakak Dodi yang sedang belajar Matematika untuk ulangan harian besok menoleh.

”Kamu ini, masuk rumah langsung ngomel-ngomel, kenapa sih?” tanya Arman.

Setelah melepaskan kaos kaki dan sepatu bolanya, Dodi merebahkan tubuhnya di atas permadani di depan televisi dan mulai memencet-mencet tombol remote.

”Aduh....ditanya kok malah nonton tv. Nonton tv nya nanti saja dong, kakak kan sedang belajar,” seru Arman, sedikit kesal melihat kelakukan adiknya yang kadang seenaknya saja.

”Tadi di sekolah pas latihan badminton, Dodi kalah melawan Yudha, kak” ujar Dodi manyun.

”Yah....kalau lomba kan pasti ada yang menang dan kalah dong,” hibur Arman.

”Tapi kan Dodi ingin sekali menjadi atlit badminton kak. Dodi takut kalau Pak Edo tidak akan mengajak Dodi untuk ikut lomba bulan depan,” cetus Dodi murung, ”Padahal bulan depan kan lomba badminton antar Sekolah Dasar.”

”Lho kan masih ada waktu satu bulan untuk berlatih,” Arman mengingatkan Dodi.

”Yaa....Dodi sudah putus asa ah,” ujar Dodi malas.

Arman Cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Dodi. Arman kenal betul sifat Dodi. Dodi sebenarnya jago badminton. Tapi Dodi mudah sekali patah semangat dan kalau sudah begitu, dia jadi malas latihan dan menyerah sebelum lomba dimulai.

”Dod, kamu ingat tidak ketika team sepak bola kakak menang?” tanya Arman.

”Ingat dong, dan kak Arman mendapat penghargaan sebagai pencetak gol terbanyak,” kata Dodi sambil mengernyitkan dahinya, bingung, ”memangnya kenapa kak?”

”Kakak ada sebuah rahasia tapi kamu jangan bilang sama siapa pun juga ya,” bisik kak Arman pelan, takut kalau ibu yang sedang memasak di dapur, mencuri dengar.

”Iya janji!” sahut Dodi tak sabar.

”Kakak bisa mencetak gol terbanyak waktu itu karena kaos kaki yang kakak pakai,” ujar Arman.

”Hah...maksud kak Arman gimana?” tanya Dodi tambah bingung.

”Dod, tahu nggak, kaos kaki itu kakak beli tak sengaja di pasar malam. Ternyata yang menjual kaos kaki itu adalah orang pintar. Orang itu sudah memantra-mantrai kaos kaki itu dan siapa pun yang memakainya dia akan menang dalam setiap lomba mana pun,” kata kak Arman.

”Kok kakak nggak bilang-bilang sih kak?” tanya Dodi, ”Dodi juga mau beli kak.”

”Penjualnya sudah tidak ada lagi sekarang, sudah keluar kota. Tapi kakak bisa meminjamkan kamu asal kamu janji menjaga kaos kaki itu jangan sampai robek, janji?” tanya kak Arman.

Dodi mengangguk mantap.

”Dan jangan buka rahasia kita ya,” tegas Arman lagi. ”Oh iya ada lagi syaratnya Dod, khasiat kaos kaki itu akan menjadi ampuh bila telah kamu pakai lebih dari dua belas kali.”

Dodi mengacungkan jempolnya tanda setuju. Ah...tidak sulit memenuhi syarat itu, bukankah dia bisa memakai kaos kaki itu setiap latihan. Dan dia akan berlatih terus supaya kaos kaki itu lebih ampuh khasiatnya. Hatinya gembira kini. Hoho....dengan kaos kaki keberuntungan kak Arman, dia pasti akan menjadi juara.

Sudah hampir sebulan ini Dodi rajin sekali latihan badminton. Sepulang sekolah dia selalu minta ditemani Arman sebagai lawan mainnya. Bahkan ibu dan ayah kebagian menjadi lawan mainnya ketika hari libur.

”Wah.....kamu pasti jadi juara, Dod,” puji ayah kagum melihat perkembangan permainan badminton Dodi.

”Iya dong, Dodi.....,” Dodi meringis sambil mengerdipkan sebelah matanya pada Arman yang pura-pura tidak melihat.

”Ayah, ibu dan kak Arman mesti datang ya besok minggu,” ujar Dodi berharap.

”Mudah-mudahan ayah dan ibu tidak ada urusan penting ya, Dod,” kata Ayah,” Yang penting kamu harus main yang terbaik ya, tidak usah pikirkan dulu soal kalah atau menang.”

Dodi mengangguk mendengar nasihat ayah. Tentu saja dia akan melakukan yang terbaik, bukankah kini ada kaos kaki keberuntungan yang akan membawanya menjadi sang juara.

Akhirnya lomba badminton antar sekolah berlangsung. Dodi tampil piawai di lapangan. Ayah, ibu dan Arman mengacungkan jempol setiap kali Dodi berhasil meraih angka. Dodi memang terlihat begitu percaya dirin. Pak Edo, guru olahraga di sekolahnya tak henti-hentinya bertepuk tangan menyemangatinya. Teman-temannya pun berteriak-teriak untuk kemenangan Dodi. Perjuangan Dodi tak sia-sia, dia menang sebagai juara pertama.

Ayah, ibu dan Arman tak henti-hentinya memuji permainan Dodi. Pun sampai di rumah ketika mereka sedang makan malam, topik permbicaraan selalu tentang kemenangan Dodi. Tapi muka Dodi tampak sedih.

”Kok yang menang malah murung?”tanya ibu.

”Seharusnya Dodi tidak menang bu, kalau bukan karena kaos kaki kak Arman. Ah, lebih baik kalah ya asalkan Dodi tidak curang,” ujar Dodi.

Ayah dan ibu tampak bingung. Kak Arman akhirnya menceritakan tentang kaos kaki keberuntungan pada ayah dan ibu. Dodi menekuk muka dengan sedih dan menunduk menghindari tatapan ayah dan ibu yang pasti marah padanya. Tapi tiba-tiba kak Arman tertawa terbahak-bahak membuat Dodi kaget.

”Hahahaa.....itu kan cuma akal-akalan Arman saja bu, kalau tidak dibohongin seperti itu, Dodi sudah putah semangat dan nggak percaya diri,” seru Arman geli.

”Jadi?” mata Dodi membulat.

”Iyalah, mana ada kaos kaki keberuntungan. Kaos kaki itu kan ibu yang beli,” ujar Arman sambil senyum-senyum.

”Hah....kak Arman tega banget sih,” kata Dodi kesal, ”Itu artinya Dodi memang menang karena usaha sendiri ya?”

Hahaha......ayah, ibu dan kak Arman tertawa diikuti tawa Dodi yang paling nyaring karena hatinya telah tenang dan lega. Ah...kak Arman memang ada-ada saja!


KEJUTAN UNTUK KOLI

Koli Keong sedang sedih. Sambil merapatkan badannya di akar pohon besar dia memandang sekelilingnya. Tampak olehnya teman-temannya, para penghuni kampung hewan, seperti Kiti kucing, Gagas Angsa, Gugi anjing, dan beberapa hewan lain sedang tertawa-tawa germbira.

”Asyik sekali loh tadi di kota,” seru Gugi anjing, ”aku melihat banyak sekali hal baru yang belum pernah aku lihat di sini.”

”Wah....kota memang ramai sekali ya Gugi,” kata Kiti Kucing, ”tapi di kota banyak sekali manusia dan aku tidak suka kalau harus tinggal di rumah-rumah besar mereka.”

”Enakan di sini ya, Kiti,” seru Gagas Angsa yang sedang asyik berenang di danau, ”aku tidak pernah ke kota tapi aku bisa membayangkannya.”

”Oh iya, di ujung danau ini ada taman yang indah loh. Kalian pasti belum pernah kesana,” tambah Gagas Angsa.

Semua hewan menggeleng dan menampakkan muka tertarik.

”Kita nanti ke piknik ke sana deh, tapi kalian lewat darat ya,” usul Gagas Angsa.
Semua mengangguk setuju kecuali Koli .

”Hei...Koli, kamu kok murung begitu, kenapa?” tanya Kiti Kucing.

”Aku juga kepingin sekali melihat kota dan taman yang indah seperti cerita kalian,” kata Koli, ” tapi bagaimana mungkin, jalanku pelan begini, mungkin berbulan-bulan aku bisa sampai ke sana.”

”Aduh...Koli, jangan sedih dong, kau kan bisa naik ke punggungku, jadi kita bisa sampai ke taman yang indah itu bersama-sama,” tawar Gagas Angsa.

”Aku pun bersedia menyediakan punggungku, Koli,” seru Lidi si Kelinci yang baru saja bergabung.

”Aku juga...”

”Aku juga...”

Semua hewan-hewan menawarkan diri untuk membantu Koli. Koli tersenyum berterima kasih pada mereka tapi hatinya tetap saja sedih.

”Uugg...untuk ke taman itu saja, aku pun harus tergantung pada mereka. Betapa aku ini memang mahluk yang paling merepotkan saja,” keluh Koli dalam hati.

Siang ini Koli sedang berjalan-jalan. Kampung hewan tampak sepi. Rupanya para penghuninya sedang sibuk di rumah masing-masing. Tentu saja, mereka kan akan sedang mempersiapkan bekal untuk piknik besok.

”Sepertinya cuma aku sendiri yang tidak sibuk,” kata Koli dalam hati, ”yah...aku tak yakin akan ikut piknik.”

Koli berjalan sambil menunduk. Hatinya masih sedih saja. Ketika melewati rumah Kiti Kucing, Koli mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah Kiti. Koli mendekat pelan-pelan dan mengetuk rumah Kiti Kucing.

”Eh...Koli,” ujar Kiti Kucing kaget.

”Aku mendengar suara ribut-ribut, aku khawatir sekali,” kata Koli.

Oo...rupanya Kiti kucing sedang beradu mulut dengan Tutu Kucing, adiknya. Mereka mempertengkari siapa yang harus mempersiapkan bekal piknik besok. Kiti Kucing menyuruh Tutu Kucing tapi Tutu Kucing tidak mau karena dia sedang mengantuk.

”Kiti, Tutu, kalau aku boleh tahu, siapa yang mendapatkan ikan ini?” tanya Koli
.
”Kiti,” kata Tutu Kucing, ”tapi itu memang sudah tugasnya, karena aku kebagian yang membersihkan rumah. Sekarang aku sudah mengantuk sekali, Koli. Tapi Kiti menyuruhku menyiapkan keranjang dan menyusun bekal untuk besok.”

”Begini saja, karena Tutu sudah kecapaian karena membersihkan rumah. Sepertinya bukan hal yang melelahkan menyusun ikan-ikan ini ke keranjang. Ya kan, Kity?” tanya Koli.

”Wah....keenakan Tutu dong, Koli,” sungut Kiti Kucing.

”Tapi besok dia yang kebagian membawa keranjang ini sampai ke taman karena tentunya Tutu sudah segar setelah bangun tidur besok. Bagaimana, Kiti, Tutu?” tanya Koli.

Kiti Kucing dan Tutu Kucing menangguk senang. Sekarang mereka tidak lagi bertengkar. Koli pun melanjutkan jalan-jalannya lagi. Ketika melewati rumah Yummy Ayam, tampak olehnya Yummy ayam sedang bersedih.

”Ada apa, Yummy?” tanya Koli.

”Aku sedih, Koli. Aku ingin sekali ikut piknik tapi aku kan tidak mungkin meninggalkan telur-telurku,” kata Yummy Ayam pelan.

”Jangan sedih dong, Yummy. Kupikir, piknik bisa kapan saja kan?” kata Koli
”telur-telurmu mesti kau jaga. Karena setelah anak-anakmu menetas dan menjadi besar, mereka lah yang akan menemanimu kemana kau suka, termasuk bila kau ingin piknik.”

”Kau benar, Koli, terima kasih ya,” ucap Yummy senang. Hatinya sudah tenang sekarang.

Koli pun melanjutkan jalan-jalannya. Hatinya pun senang karena bisa membantu teman-temannya memecahkan masalah mereka.

Gagas Angsa benar. Taman bunga seperti ceritanya itu memang sungguh indah. Beraneka bunga bermekaran dan mengeluarkan wangi semerbak. Kupi si kupu-kupu tampak menari-nari riang dengan teman-teman kupu-kupunya yang lain. Hewan-hewan yang lain juga gembira. Koli pun yang baru turun dari punggung Gagas Angsa terkagum-kagum melihat pemandangan yang baru baginya ini. Ketika mereka sedang asyik bermain, terdengar seruan Gugi.

”Teman-teman, hari ini selain kita bersenang-senang, akan diadakan pemilihan penasihat kampung hewan kita untuk mendampingi Kudi Kuda, pemimpin kampung kita,” seru Gugi.

Ohh...rupanya akan dipilih salah seekor dari mereka sebagai penasihat. Para hewan tampak berembuk.

”Bagaimana kalau Koli saja,” seru Kiti. Teringat olehnya bagaimana Koli telah membantunya menyelesaikan pertengkarannya dengan Tuti.

”Ya, betul,” kata Gagas Angsa. Gagas Angsa teringat cerita Yummy Ayam kemarin sore kepadanya tentang bagaimana nasihat Koli menenangkan hatinya.

Hewan-hewan lain juga setuju. Mereka tahu kalau Koli memang Keong yang bijaksana. Banyak yang sudah mendapat bantuan nasihat dan pemikiran dari Koli. Koli pun sangat terkejut. Selama ini dia memang senang sekali kalau bisa membantu teman-temannya tapi sungguh tak terbayangkan kalau teman-temannya memilihnya menjadi penasihat kampung hewan.

”Oh, ternyata aku pun masih dibutuhkan kalian, ” kata Koli tersipu malu.

”Tentu, kau memang pantas menjadi penasihat kami,” ujar Tuti Kucing.

”Hidup..Koli...” seru hewan-hewan lain dengan gembira.



LUKISAN UNTUK RAJA


Semenjak permaisurinya wafat tiga bulan yang lalu, Raja Wika selalu tampak berduka. Mukanya murung dan tidak bergairah. Pangeran Akhsa pun menjadi sangat sedih.

”Apa yang harus kita lakukan, paman Patih?” tanya Pangeran Akhsa pada Patih Gondana.

”Pangeran, apa sebaiknya kita pun meminta bantuan pada penduduk negeri ini?” Patih Gondana balik bertanya, ”mungkin ada yang bisa membantu menghilangkan kesedihan sang raja.”

”Laksanakanlah usulmu itu, paman!” perintah Pangeran Aksha, ”akan kuhadiahkan 100 keping uang emas bagi mereka yang berhasil membuat ayahanda gembira kembali.”

Akhirnya setelah Patih Gondana mengumumkan sayembara ke seluruh penjuru negeri, berbondong-bondonglah rakyat datang ke istana. Mereka pun tak urung menjadi sedih mengetahui keadaan raja mereka yang tadinya terkenal dengan keceriaan dan kebaikannya. Mereka berpikir keras mencari akal untuk mengembalikan keceriaan sang raja. Berbagai cara mereka lakukan. Ada yang mencoba melucu di depan sang raja, ada yang bernyanyi, menari dan lain-lain. Namun tak satu pun yang berhasil. Raja Wika tetap menekuk muka dan duduk termangu di kamarnya.

Pangeran Akhsa bertambah gundah,” apa lagi yang harus aku lakukan?” pikirnya putus asa. Tiba-tiba tampak seorang anak kecil datang menemuinya.

”Ampun pangeran, izinkan aku membantu sang raja,” ujar anak laki-laki itu.

”Apa yang bisa kau lakukan, adik kecil?’ tanya Pangeran Akhsa.

”Ketahuilah pangeran, beberapa waktu yang lalu, baginda raja telah memberi bantuan uang pada kami ketika ibu saya sakit hingga saya bisa membeli obat dan makanan untuk ibu saya. Ibu saya kini telah sehat dan kami merasa sangat berhutang budi. Betapa hamba dan ibu hamba ingin sekali membalas kebaikan sang raja. Namun kami tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya keinginan itu kami tuangkan dalam lukisan ini,” ujar anak kecil itu sambil membuka bungkusan benda besar yang di bawanya, ”hamba berharap lukisan kami ini dapat membuat raja kembali gembira.”

Pangeran Akhsa mengamati lukisan itu. Lukisan seorang raja persis sekali dengan raja Wika sedang duduk di singgasana dan dan tersenyum arif.

”Setiap kali kuas kami menyentuh kanvas, do’a kami selalu mengalir untuk kebahagiaan baginda raja,” lanjut anak kecil itu lalu mohon diri untuk pulang.

Sepeninggal anak kecil itu, masih dengan hati yang bimbang, pangeran Akhsa memerintahkan pelayan untuk memasang lukisan itu di kamar ayahnya.

”Aku tidak tahu apa itu akan berhasil,” gumam pangeran Akhsa, ”tapi setidaknya aku ingin menghargai jerih payah anak kecil dan ibunya itu. Semoga do’a mereka memberikan keajaiban untuk ayahanda.” do’a pangeran Akhsa.

Raja Wika tengah berbaring letih di tempat tidurnya. Badannya terasa sakit dan lemah. “lebih baik aku beristirahat dulu.,” gumam Raja Wika.

Baru saja Raja Wika ingin memejamkan matanya, tiba-tiba matanya terantuk lukisan di depannya.

“Siapa yang memasang lukisan ini di sini?”Raja Wika bingung.

Seperti ada kekuatan yang membuat Raja Wika bangkit untuk mengamati lukisan itu lebih dekat. Perlahan dirabanya lukisan yang entah mengapa menarik perhatiannya itu. Ajaib. Seolah ada hisapan kuat menyedot tubuhnya, Cuma dalam hitungan detik, raja Wika merasa tubuhnya tertarik masuk ke dalam lukisan. Tampak sebuah persimpangan jalan terpampang di depannya.

“Akan kemanakah ujung dua jalan ini? “pikir Raja Wika, ”hmm...akan aku coba menyusuri jalan sebelah kiri ini.”

Raja Wika mulai melangkah. Tampak negeri yang lengang dengan sebuah istana yang tidak terawat di tengah-tengah negeri terpampang jelas di depannya.

“Kenapa negeri ini begitu sepi?” tanya Raja Wika pada seorang lelaki tua yang sedang duduk termenung di bawah sebatang pohon,” cuma kau yang aku temui di sini.”

“Dulu aku raja di kerajaan ini. Tapi kesedihan yang berkepanjangan membuatku lupa akan kewajibanku sebagai seorang raja. Kerajaan kami diserang tanpa kami sanggup melawan. Anakku dan seluruh pengawalku ditawan. Rakyatku meninggalkan negeri ini dengan kesedihan. Hingga kini aku tak tahu nasib mereka,” ujar lelaki tua itu sambil terisak.

“Apa yang membuatmu bersedih?” tanya Raja Wika.

“Maaf saya tidak bisa memberi tahu anda. Pergilah dari sini. Saya do’akan semoga nasib anda tidak seperti nasib saya.” Kata lelaki tua itu lalu berlalu meninggalkan Raja Wika.

Dengan ragu, Raja Wika berbalik ke tempat semula dan mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalan yang mengarah ke kanan. Kali ini ditapakinya kakinya dengan cepat. Kini tampak olehnya negeri yang indah dengan istana yang megah. Raja Wika mencoba masuk ke istana. Seorang raja dengan tersenyum ramah menyambutnya.

“Silahkan datang ke negeri kami, Raja Wika,” sambut sang raja di depannya.

“Negeri anda begitu indah dan anda begitu gembira. Sungguh menyenangkan rupanya kehidupan anda,” ujar raja Wika.

“Haha…tahukah anda, bukankah setiap orang tak luput dari masalah. Tapi untuk apa kita berlarut-larut dalam kesedihan. Masih banyak yang harus kita perhatikan. Ada rakyat yang mengharapkan perlindungan dari rajanya. Ada anak-anak yang butuh kasih sayang dari ayahandanya.” ujar raja di depannya dengan tertawa riang, “Semoga kegembiraan menyertaimu, raja Wika.”

Raja Wika tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba dia teringat kerajaannya, anaknya, dan penduduk negeri yang dicintainya. Raja Wika segera mohon diri dan bergegas kembali ke jalan semula. Ketika Raja Wika sampai pada persimpangan jalan, angin berhembus pelan dan semakin lama semakin kencang menerpa tubuhnya. Tubuh Raja Wika dibawa berputar-putar di dalam gulungan angin yang kencang….dan..

“Bukk” Raja Wika terjatuh di tempat tidurnya.

“Apakah aku mimpi?” tanya Raja Wika bingung. Disekanya dahinya yang berkeringat,

“Ini pasti bukan mimpi, badanku sungguh letih seperti habis berjalan jauh,” gumam raja Wika sambil terpekur. Kejadian barusan masih sangat membekas. Teringat olehnya dua sosok raja seolah cerminan dirinya di masa mendatang. Tiba-tiba Raja Wika tersadar, betapa selama ini dia telah larut dalam kesendirian yang lama dan panjang.

“Kasihan anakku dan seluruh rakyatku, Aku harus bangkit dan keluar dari kesedihan ini ” janji Raja Wika dalam hati. Raja Wika keluar dari kamarnya dan duduk kembali ke singgasana dengan senyum yang mulai terkembang.

Begitulah, berangsur-angsur raja Wika kembali seperti sedia kala. Sorot mata dan senyumnya kini terlihat gembira. Dan cuma kepada putranyalah, raja Wika menceritakan pengalamannya itu. Pangeran Akhsa tentu saja sangat bersuka ria. Segera saja dia memerintahkan seluruh pengawal kerajaan untuk mencari anak kecil yang telah memberikan lukisan untuk ayahandanya. Tapi sampai berhari-hari, anak kecil itu tak jua ditemukan. Mungkin anak kecil itu telah pergi ke tempat yang sangat jauh dan tak ingin pangeran dan raja menemuinya.

Tentang lukisan ajaib itu, raja Wika tetap memasangnya terus di kamarnya. Walaupun setelah kejadian yang dialaminya itu, tak pernah lagi raja Wika mengalami kejadian serupa. Tapi lukisan itu tetap menjadi kenangan tersendiri bagi sang raja.


Wednesday, February 21, 2007

SERIAL POLLY ( judul ke VI )

POLLY DAN BETSY BERTUKAR TEMPAT
Sepulang sekolah, Polly bertandang ke rumah Betsy. Rumah Betsy besar dan indah berbentuk jamur yang tinggi. Polly senang sekali bermain di rumah Betsy. Apa lagi di dalam kamar Betsy yang luas dan hangat, tidak seperti kamarnya yang sempit, walau juga hangatnya sama seperti kamar Betsy.

”Asyik sekali di sini ya,” kata Polly ketika dilihatnya rumah Betsy tampak sepi. Yah....ayah dan ibu Betsy sedang bekerja, jadi kalau siang hari Betsy tinggal sendirian di rumah.

”Enakan di rumah kamu dong, Polly,” ujar Betsy, ”ada ibumu, jadi kamu tak akan kesepian.”
Polly tidak mendengar kata-kata Betsy. Dia tampak sibuk memilih kue-kue apa yang akan dimakannya terlebih dahulu. Yah..... dapur di rumah Betsy memang dipenuhi kue-kue lezat. Kau pun pasti bingung akan mulai makan kue apa. Ada kue apel panggang yang tampak lezat sekali, kue berlapis krim yang menggiurkan, kue jahe hangat, sosis panggang, dan masih banyak lagi ditambah es krim rasa strawberry dan susu dingin di kulkas.

”Ini baru menyenangkan!” cetus Polly, ”pantas kau kelihatan gemuk sekali, Betsy!”

Betsy tertawa, ”yah kalau soal makanan, tidak ada yang bisa melebihi makanan yang disiapkan oleh ibuku.”

”Ah...andai aku menjadi kamu yang Betsy, tentu enak sekali, tiap hari disuguhi makanan enak begini.”

”Tapi lama-lama kau pasti bosan,” ujar Betsy, ”aku lebih senang bila jadimu, sepulang sekolah, ada ibu yang menemanimu makan.”

”Tapi kau akan terus diomelin!” tukas Polly, ”kalau kau mau, kau boleh tinggal di sana.”

”Dan kau tinggal di rumahku?’ tanya Betsy, ”tentu saja aku mau!”

Hari ini hari pertama Polly dan Betsy bertukar tempat. Tadinya nyonya Berto, ibunya Polly dan nyonya Doti, ibu Betsy sangat kaget ketika mendengar keinginan anak-anak mereka.

”Biarkan saja kalau mereka maunya begitu, kita kasih saja kesempatan untuk mereka,” bisik nyonya Doti pada nyonya Berto.

Betapa senangnya Polly dan Betsy mendapat izin dari ibu-ibu mereka. Mereka membawa tas besar berisi pakaian masing-masing. Tentu saja karena tubuh Polly yang kurus pasti tampak aneh bila mengenakan baju Betsy yang lebar. Begitu juga dengan Betsy tak akan bisa mengenakan baju Polly yang pasti sempit di tubuhnya.

Polly senang sekali menikmati hari-harinya di rumah Betsy. Huaah...rasanya bebas sekali dari ibunya yang sering mengomel. Apa lagi makanan tersedia lengkap di lemari makan besar dan di lemari es.

”Bodoh sekali Betsy mau bertukar tempat denganku,” Polly menyeringai, ”lihatlah, tempat tidurnya pun besar dan empuk sekali.”

Sampai sore Polly sangat menikmatinya. Tapi ketika menjelang malam, tiba-tiba Polly merasa bosan.

”Ugh...jam berapa sih nyonya dan tuan Doti pulang?” gumam Polly. Rasanya tidak enak juga bila harus sendirian di rumah yang besar ini.

Sedari tadi dia telah melakukan berbagai hal sesukanya. Membaca buku cerita, nonton film dan menghabiskan banyak makanan sampai perutnya buncit.

Bagaimana dengan Betsy? Tadinya Betsy senang sekali di rumah Polly. Ada nyonya Berto yang menemaninya di meja makan.

”Asyik sekali ada teman bicara di rumah,” kata Betsy pada nyonya Berto.

”Tapi setelah ini kau harus tidur siang ya,” ujar nyonya Berto mengingatkan Betsy.

”Tapi apa aku boleh mendapat makanan lagi?” tanyanya.

”Tidak boleh, kau kan sudah kenyang.” kata nyonya Berto, ”kalau kau makan terus-menerus, perutmu akan sakit dan kau tak bisa tidur siang,”

”Tapi aku masih menginginkan kue lapis itu,” kata Betsy sambil menunjuk kue lapis di atas meja.

”Nanti setelah kau bangun dari tidur,” tegas nyonya Berto.

Ugh....Betsy jadi sedih. Kalau di rumahnya dia bisa memutuskan sendiri apa yang akan dilakukannya, tapi disini?

”Ah....aku kangen rumahku,” keluh Betsy di tempat tidur Polly yang sempit.

Polly pun merasakan hal yang sama. Rasanya asing sekali sendirian di rumah besar tanpa ibunya. Tiba-tiba Polly rindu pada ibunya.

”Walau ibu suka memarahi aku tapi ibu baik dan mau menemaniku ngobrol, aku kangen....” gumam Polly.

Polly memutuskan kembali kerumahnya. Dengan cepat dia memasukkan kembali pakaian-pakaiannya ke dalam tasnya dan segera keluar dari rumah Betsy. Di tengah perjalanan, Polly bertemu Betsy yang juga tengah menyandang tasnya.

”Aku tidak mau tinggal di rumahmu lagi, Betsy,” kata Polly, ”lebih menyenangkan di rumahku karena aku tidak akan kesepian.”

”Aku juga tidak suka tinggal di rumahmu, ibumu terus mengomeli aku kalau aku ingin makan dan menyuruhku tidur siang,” cetus Betsy, ”aku juga kangen makanan-makanan enak yang disiapkan ibu untukku.”

Polly dan Betsy lalu menuju rumah masing-masing. Nyonya Berto melihat kedatangan Polly dengan tersenyum senang.

”Ah...kau sudah pulang, Polly,” sambut nyonya Berto, ”cepatlah ganti bajumu ya, sebentar lagi makan malam.”

”Ibu, aku tak mau lagi di rumah Betsy,” ujar Polly pelan, ”paling enak di sini, walau ibu suka memarahiku tapi aku kangen sekali pada ibu.”

Nyonya Berto memeluk Polly, ”ah...kau ini, kalau ibu ngomel karena kau suka bandel,” tukas nyonya Berto sambil memencet hidung Polly yang lucu.

”Memang paling menyenangkan di rumah sendiri ya.” tegas Polly.

SERIAL POLLY (judul ke V)

RAMALAN UNTUK POLLY


Ada pasar malam di dekat rumah Polly. Bersama Lodi, Lovina dan Betsy, Polly menghabiskan sabtu sore di sana. Mereka naik komedi putar sampai tiga kali dan tak puas-puasnya main melempar gelang. Lihatlah, kantong-kantong yang mereka jinjing dipenuhi oleh barang-barang yang mereka menangkan dari permainan melempar gelang.

“Itu ada peramal,” ujar Lovina, “kita kesana yuk!”

Semua menyetujui usul Lovina dan mendekati seorang gadis muda dengan pakaian ala gypsinya.

“Halo adik-adik…ada yang mau saya lihat telapak tangannya?” tanya nona peramal ramah.

Polly dan teman-temannya mulai bergiliran menyodorkan telapak tangan masing-masing.

“Kau cantik dan pintar, rajinlah belajar, kau pasti selalu menjadi juara kelas,” ujar nona peramal membuat pipi Lovina bersemu merah jambut.

“Kau banyak sekali makan yang manis-manis, mmm…makannya dikontrol ya sebab tubuhmu akan gemuk dan kau menjadi malas,” kata nona peramal membuat Betsy meringis.

“Kau berani dan cerdas. Wah…kau ini akan menjadi saingan temanmu yang cantik itu ya,”ujar nona peramal pada Lodi.

Dan kini giliran Polly yang terlihat agak sungkan mengulurkan tangannya.

“Mmm…..sungguh mengerikan….kau tak akan naik kelas bila …”kata-kata nona peramal terhenti karena teriakan kaget Polly.

“Huh…aku tak percaya ramalan!” seru Polly lalu berlalu meninggalkan nona peramal dan teman-temannya yang melongo melihat tingkahnya.

Polly uring-uringan. Kata-kata peramal itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Uggh...sebenarnya Polly takut sekali apa lagi ujian kenaikan kelas akan berlangsung satu bulan lagi.

”Kau yakin dengan ramalan itu, Lody?”tanya Polly pada Lody. Sore itu mereka sedang duduk santai di bawah pohon jambu air di depan rumah Lody.

”Iya dong, mmm....aku harus belajar rajin,” ujar Lody,”kalau tidak Lovina pasti akan mengalahkanku!”

”Huh...aku sih tidak percaya,”dengus Polly,”akan kubuktikan kalau ramalan nona peramal itu tidak benar!”

”Kalau begitu, harus kau buktikan, Polly! tantang Lody,”soalnya, aku pun percaya dengan ramalan nona peramal itu tentangmu, hehe..”

Lody tertawa membuat Polly yang semakin jengkel memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Di rumahnya, Polly tetap kepikiran. Uggg...bagaimana kalau ramalan itu terbukti benar ya? Polly semakin uring-uringan.

”Akan kubuktikan kalau ramalan itu salah,”pikir Polly, ”aduh..tapi bagaimana caranya?”

”Kau harus belajar giat dari sekarang, Polly,” begitu kata Lovina di telepone.
Belajar? Hfff...Polly menggeleng malas. Ditatapnya buku-buku yang tersusun di meja belajarnya. ”Ahh...aku mulai mengerjakan PR Matematika ini saja,” kata Polly akhirnya.

”Waduh....PR ini susah sekali,” keluh Polly, ”kalau aku bertanya pada Lovina, mau tidak ya Lovina memberi tahu jawabannya?”

”Kamu ke rumahku saja, Polly, kita belajar sama-sama,” ujar Lovina ketika Polly meneleponnya.

Dengan ragu Polly berjalan ke rumah Lovina untuk belajar bersama, sesuatu yang sangat langka terjadi padanya.

Satu bulan berlalu dan ujian kenaikan kelas telah dilangsungkan. Hari pengumuman kenaikan kelas pun tiba. Jantung Polly berdebar kencang. Ramalan nona peramal terus saja menghantuinya.

”Polly...ini raportmu,”panggil pak Todry.

Polly melangkah dengan kaki gemetar. Diterimanya raport bersampul biru bertuliskan namanya dari Pak Todry dengan gelisah.

”Bagaimana nilai-nilaimu, Polly?”tanya Lovina.

Polly menggelengkan kepalanya dan memberikan raportnya pada Lovina. Lovina membuka raport Polly dengan cepat.

”Hei......kau naik kelas, Polly, nilaimu bagus!”seru Lovina.

Polly kaget. Dijulurnya kepalanya melihat raport miliknya yang sedang dipegang Lovina. Oh...mata Polly menangkap nilai-nilai yang cukup memuaskan tertuang di raportnya. Matematika tujuh, IPA tujuh,.....

”Ini raportku kan, Lovina?” tanya Polly tidak percaya.

”Ya iyalah, kau pikir raportku?” sahut Lovina geli, ”aku kan juara kelas, Polly, nilaiku lebih bagus dari ini koq, hehe..”

”Tapi...”Polly bingung,” uggh...sekarang aku bisa membuktikan kalau ramalan peramal itu salah!”

”Hehe....sebenarnya untung juga ya kau diramal seperti itu,”cetus Lovina,”kalau tidak kau tidak akan ketakutan dan terpacu untuk belajar. Tapi kan peramal itu benar juga, Polly.”

”Maksudmu?” tanya Polly.

”Peramal itu mengatakan kau kan tidak akan naik kelas bila kau tetap malas belajar. Kau sih....meninggalkan peramal itu sebelum dia menuntaskan kata-katanya.”

Polly manggut-manggut mengerti.

”Hehe....tapi sebenarnya, aku pun tak pernah percaya dengan ramalan. Ramalan itu hanya perkiraan saja dan tidak pasti, bukan?” ujar Lovina,”kita dong yang menentukan langkah kita sendiri bukan orang lain!”

Polly mengernyitkan dahinya,”upss...hampir saja ramalan itu terbukti kalau aku tidak merubah sikapku yang pemalas selama ini ya, Lovina.”

”ngomong-ngomong, ini kan raport terbaikmu kan Polly?”bisik Lovina,”biasanya banyak angka merah menghiasi raportmu...hehe...”

Lovina tertawa geli dan deraian tawanya mengalir pada Polly yang kini lega kalau dia telah membuktikan kalau ramalan padannya itu terbukti tidak benar dan ini tentu saja karena dia telah giat belajar selama ini!








Sunday, February 18, 2007

SERIAL POLLY (judul ke IV)

MUSIM DINGIN DI NEGERI PALIPOP

Musim dingin menyelimuti negeri Palipop. Anak-anak bersuka ria karena sebentar lagi salju akan turun. Mereka telah menyiapkan papan luncur yang telah beberapa lama tersimpan di gudang, kini bisa digunakan kembali. Hmm....meluncur dari bukit salju dengan papan peluncur sangat mengasyikkan. Tapi bagi Polly yang paling menyenangkan adalah meluncur di atas sungai kecil di depan rumahnya yang tak lama lagi akan membeku menjadi es yang berkilat.

Pagi ini sekolah Polly libur. Tapi bila biasanya Polly akan tetap bermalas-malasan di tempat tidurnya yang hangat, pagi ini dia langsung melompat turun dari tempat tidur. Buru-buru dia mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian yang lebih tebal, mengenakan sarung tangan dan kaos kaki wol, tutup kepala dan mantel hangat.

”Cuaca masih dingin sekali, Polly!” seru Nyonya Berto, ibu Polly dari dapur ketika dilihatnya Polly tampak mencari sepatunya yang tersimpan di belakang pintu dapur.

”Aku cuma ingin duduk-duduk di depan rumah saja, bu,” Polly berbohong. Tentu saja, kalau tidak, ibunya pasti akan marah dan mengurungnya di dalam rumah. Ugg.... bosan sekali!

”Tapi kau belum sarapan,” ujar nyonya Berto, ”makanlah dulu, ini ada sosis panggang.”

”Nanti saja bu, sebentar lagi,”seru Polly cepat lalu buru-buru keluar rumah sebelum ibunya bisa mencegahnya lagi.

Tapi di luar masih gelap dan sepi. Sepertinya anak-anak lebih memilih mengurung diri di dalam rumah mereka yang hangat daripada bermain di luar rumah.

”Dasar anak-anak pemalas,” gerutu Polly. Tadinya dia mengira, sahabat-sahabatnya, Lodi, Lovina dan Betsy sedang asyik bermain di luar.

Salju memang belum turun pagi ini tapi lihatlah rumput sudah membeku. Rasanya asyik sekali ketika menginjak rumput yang biasanya lembut dan tampak hangat tapi kini terdengar bunyi berderik.

”Kalau begitu, sungai kecil itu pasti sudah membeku, asyik sekali,” kata Polly senang.

Dengan semangat ia melangkahkan kakinya menuju sungai kecil yang memang tampak berkilap. Ditapakinya kakinya menyentuh sungai yang tampak membeku itu.

”Betulkan sudah menjadi es!” Polly berdesis, mulutnya tampak mengeluarkan asap putih. Itu adalah kepulan nafasnya yang sekarang tampak kedinginan.

”Asyik, aku bisa meluncur di es sekarang,” seru Polly senang.

Sungai kecil yang biasanya mengalir tenang kini tampak licin dan berkilat. Polly sudah melangkah sampai ke tengah sungai.

”Aku akan meluncur ke arah rumah Betsy,” gumam Polly, ”nanti kuajak dia ikut meluncur bersamaku.”

Rumah Betsy memang letaknya paling dekat dengan rumah Polly dibandingkan dengan rumah Lodi dan Lovina yang letaknya lebih jauh beberapa rumah.

Polly mulai meluncur dengan gembira. Kini dia sudah semakin jauh saja rasanya.

”Seandainya sungai ini membeku selamanya, tentu asyik sekali,” gumam Polly senang. Tiba-tiba....

”Oh....oh...”Polly kaget sekali ketika es yang ditapakinya pecah dan seolah mencair dan...

”Toloongggg........!” Polly menjerit takut. Dia terperosok ke dalam bagian sungai yang ternyata masih belum membeku. Polly berusaha naik ke atas tapi percuma, air dingin di kiri kanannya semakin melebar.

Tapi tak ada yang lewat, semua tampak sunyi.

”Oh...tolong...hiks.....”Polly mulai menangis. Badannya semakin terbenam dan menggigil, ”Tolooonggg.....”jerit Polly semakin pelan. Dari mulutnya tampak semakin banyak kepulan asap putih yang keluar.

”Astaga, kau kah itu Polly?” teriak satu suara. Polly mendongak mencari asal suara itu. Tampak di pinggir sungai, ayah Betsy menatapnya kaget.

”Tunggu disitu, jangan bergerak-gerak,” seru ayah Betsy cepat.

Polly menunggu dengan tubuh semakin lemah karena menggigil. Untunglah ayah Betsy cepat datang dan menarik tubuhnya dari benaman air es yang dingin dan membopongnya keluar dari sungai.

”Kau ini nakal sekali, Polly,” tegur ayah Betsy ketika dalam perjalanan mengantar Polly pulang ke rumahnya.

”Sungai itu akan membeku paling tidak masih tiga hari lagi. Seharusnya kau harus mengetes kekuatan es dulu dengan memukul tongkat keras-keras pada esnya. Tidak langsung meluncur seperti itu,” marah ayah Betsy, ”ah...andai aku tak melihatmu tadi...”

Polly cuma diam. Tubuhnya yang menggigil membuatnya tidak ingin apa-apa lagi kecuali minum susu hangat dan berselimut di tempat tidurnya yang hangat. Ketika sampai di rumah, nyonya Berto geram sekali mendengar cerita dari ayah Betsy.

”Terima kasih tuan Doti,” kata nyonya Berto pada ayah Betsy. Setelah ayah Betsy pulang, Polly tak henti-hentinya diomelin olehnya.

”Anak bandel, cepat ganti pakaianmu dengan baju tidur hangat,” perintah nyonya Berto, ”dan sebelumnya habiskan dulu segelas susu hangat ini.”

Lima hari ini, Polly terkena demam dan flu yang berat. Untunglah sekolah masih libur jadi dia tidak akan ketinggalan pelajaran. Tapi Polly tampak sedih sekali. Dengan memandang dari balik jendela kamarnya, Polly melihat tampak teman-temannya, Lodi, Lovina dan Betsy tampak asyik sekali meluncur di sungai yang telah benar-benar membeku.

”Daggh....Polly.......”seru Lodi yang kebetulan melihatnya.

Ugh....Polly cuma bis merengut. Bibirnya mengatup kesal.

”Seandainya aku lebih sabar, tentunya aku bisa main bersama mereka sekarang,” keluh Polly, ”hattssssyihhh....!”

Polly buru-buru menutup jendela kamarnya. Ugg....berdiri di depan jendela saja sudah pilek begini.

”Semoga pilekku ini cepat sembuh,” do’a Polly lalu berbaring di tempat tidurnya yang hangat.

SERIAL POLLY (judul ke III)

BERKUNJUNG KE KOTA PERMEN


Hari Minggu besok, Polly dan teman-teman sekelasnya mendapat undangan dari Bapak Walikota Kota permen. Wuih....menyenangkan sekali! Kota permen adalah tempat yang paling ingin dikunjungi oleh Polly dan teman-teman sekelasnya. Kau tahu kenapa? Tentu saja, karena kota permen terkenal dengan seribu jenis permen yang paling enak di seluruh dunia. Semua rasa pun tersedia, coklat, vanilla, strawberry, apel, lemon dan banyak lagi. Ah...kau pasti akan iri mendengar cerita mereka nanti.

Polly sendiri sudah tidak sabar menunggu hari Minggu. Apa lagi Tuan Berto, ayah Polly yang sudah pernah berkunjung ke kota permen menceritakan tentang kota seribu permen yang asyik itu.

”Bayangkan, kolam di sana dipenuhi oleh permen-permen yang enak,” ujar Tuan Berto.

”Asyik sekali, ayah!” seru Polly, ”aduh...kenapa sih hari Minggu ini begitu lama?”

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Polly dan sahabat-sahabatnya, Betsy, Lodi dan Lovina sudah berkumpul di sekolah. Di depan gerbang sekolah tampak bus besar berwarna kuning gading sudah menunggu. Bus itu yang akan membawa Polly dan teman-temannya ke kota permen.

”Silahkan masuk ke bus satu-persatu,” Pak Flafla, sopir bus menyuruh murid-murid masuk.

Sepanjang jalan, murid-murid bernyanyi gembira dipandu oleh Pak Tordry sehingga perjalanan selama dua jam tidak terasa melelahkan. Yah...kota permen letaknya lumayan jauh dari Negeri Palipop, negerinya para boneka kayu itu.

Akhirnya kota permen sudah tampak di ujung jalan yang sangat panjang ini. Polly dan teman-temannya mengintip dari balik jendela. Woowww.....lihatlah, pohon-pohon di pinggir jalan sudah berubah menjadi pohon-pohon dengan permen beraneka bentuk sebagai daun dan buahnya.

”Kita sudah sampai,” seru Pak Todry lalu memimpin murid-muridnya turun satu persatu bertemu dengan pak Walikota.

Wah...Pak Walikota yang bertubuh gemuk itu baik sekali. Polly dan teman-temannya diizinkan untuk mencicipi permen-permen yang tersebar di kota permen sesuka hati mereka.

”Tapi ingat, jangan banyak-banyak ya,” ujar pak Todry, ”kalian boleh keliling kota tapi ingat, jam tiga harus sudah kumpul di sini lagi.”

Polly, Betsy, Lodi dan Lovina segera menuju kolam permen yang memancurkan permen-permen lezat.

”Permen madu ini enak sekali,” ujar Lovina gembira, ”kalau kau Polly, permen apa yang paling enak menurutmu?”

Polly tidak bisa menjawab. Mulutnya penuh dengan permen.

”Polly, kalau makan permen satu persatu dong!” tegur Lodi, ”jangan makan sekaligus begitu!”

Polly Cuma mendengus mendengar teguran Lodi. Ketika Lodi dan Lovina berlalu darinya, tangannya meraup dua genggam permen dan langsung menyimpanya dalam saku celananya.

”Uggh....permen enak-enak begini kok makannya satu persatu sih?” ujar Polly pada Betsy, tapi terdengar seperti bergumam karena mulutnya tak henti-hentinya mengulum banyak permen. Tapi Betsy yang doyan makan cuma sibuk dengan dirinya sendiri. Sedari tadi dia terus memindahkan permen-permen dari kolam ke kantong-kantong celananya.

”Astaga, Betsy, pantas kau memakai celana aneh itu!” celetuk seorang anak ketika melintasinya, ”celanamu memiliki banyak kantong untuk menyimpan permen-permen itu hihihi.....”

Betsy ikutan cekikikan. Polly yang melihat celana Betsy jadi geram. Ugggg....coba dia memakai celana yang banyak kantong seperti Betsy, tentu lebih banyak permen yang bisa dibawanya pulang.

”Agh...tapi lebih asyik makan banyak permen disini, mumpung gratis,” kekeh Polly gembira.

Kota permen memang paling asyik. Anak-anak kota permen juga baik-baik sekali. Mengetahui kalau kota mereka sedang dikunjungi anak-anak dari negeri boneka kayu, mereka segera mengundang Polly dan teman-temannya untuk mampir ke rumah-rumah mereka yang bentuknya pun seperti permen-permen itu, menyajikan semua permen beraneka rasa dan menghadiahi mereka berkantong-kantong permen.

Akhirnya tibalah waktu Polly dan teman-temannya harus kembali ke negeri mereka. Berat rasanya tapi mereka puas dengan membawa berkantong-kantong permen dari teman-teman baru mereka, anak-anak kota permen dan bapak Walikota kota permen yang ramah.

Keesokan paginya, Polly bangun dengan malas. Tiba-tiba....

”Aduh.....”Polly mengaduh sambil memegang pipinya.

”Kenapa, Polly?” tanya nyonya Berto.

”Gigi-gigiku sakit,” rintih Polly menahan sakit. Gigi-giginya terasa berdenyut-denyut.

”Pasti kamu kemarin makan permen banyak-banyak ya?” tanya Nyonya Berto jengkel.

Polly menunduk sambil terus menahan sakit yang juga membuat kepalanya pusing. Teringat olehnya bagaimana dia rakus sekali, melahap banyak permen kemarin.

”Yah...sudah, kita ke dokter gigi,” ujar nyonya Berto, ”lekaslah berpakaian, kita pergi sekarang.”

Polly mau menangis rasanya sekarang. Padahal hari ini dia sudah tidak sabar bertemu dengan teman-teman sekelasnya untuk memperbincangkan soal kota permen yang mereka kunjungi kemarin. Tentu asyik sekali mengingat-ingat kenangan mereka di sana dengan mengulum permen beraneka rasa.

”Oh....coba aku tidak makan permen banyak-banyak kemarin,” keluh Polly. Matanya menangkap berkantong-kantong permen yang teronggok di atas meja belajarnya. Tapi sekarang permen itu sudah tidak membangkitkan selera lagi karena giginya yang terus senut-senut itu. Oh...Polly menyesal sekali!

SERIAL POLLY (judul ke II)

POLLY DAN MANTERA SIHIR

Wuih...Polly senang sekali. Dia diundang oleh Pipahito ke rumahnya. Pipahito adalah sepupu Polly yang tinggal di negeri penyihir. Lihatlah, rumah Pipahito begitu unik berbentuk kerucut seperti topi para penyihir. Pintu masuknya berupa lingkaran kecil sehingga Polly harus menunduk bila masuk ke rumah yang dinding dan lantainya dicat kotak-kotak hitam putih seperti papan catur. Pipahito pun mengajak Polly keliling negeri penyihir dengan mengendarai sapu terbang milik Pipahito.

”Tapi kita harus hati-hati di sini, karena kau bisa ditabrak oleh sapu-sapu terbang itu,” nasihat Pipahito ketika mereka melewati sapu-sapu terbang yang tengah berseliweran di udara

”Ada apa dengan sapu-sapu itu?” tanya Polly bingung.

”Sapu-sapu itu milik penghuni negeri ini yang sedang menguji kemampuan sapu terbang mereka. Biasanya itu milik penyihir baru,” jelas Pipahito.

Bukan itu saja yang membuat Polly kagum. Pipahito tampak mahir sekali membuat benda-benda terbang di udara, merubah seekor tikus menjadi sebatang pensil dan sebagainya.

”Ajarin aku mantera-mantera dong, Pipahito,” ujar Polly tertarik.

”Kau tidak bisa belajar dalam waktu dua hari, Polly,” kata Pipahito, ”tapi aku bisa mengajarimu satu mantra.”

”Iya..iya, aku mau, mantra apa itu?” seru Polly senang.

”mantra merubah benda menjadi apa pun yang kau inginkan,” kata Pipahito.
Polly bersorak gembira. Lihatlah betapa semangatnya Polly menyimak apa yang diajarkan oleh Pipahito.

”Abrakadabra...tralala...terilili....iniituiniitu...jadilah kodok,” seru Polly sambil menunjuk pada sepotong kue coklat di atas meja. Upss...Polly terloncat ke belakang ketika seekor kodok bewarna coklat melompatinya.

”Horee...aku bisa..”seru Polly gembira.

Polly pun jadi asyik menggunakan mantranya seharian ini. Pipahito geli melihat tingkahnya. Namun rupanya Polly pun bosan dan dia menginginkan mantra yang lain.

”Tidak bisa, Polly,” ujar Pipahito, ”belajar sihir tidak bisa hanya dalam waktu singkat seperti ini, kau harus sekolah dan itu membutuhkan waktu yang lama!”

Polly bersungut-sungut kecewa, ”huh....Pipahito pelit!” cetus Polly ketika Pipahito berlalu meninggalkannya karena mendengar suara ketukan di pintu depan.

Tiba-tiba mata Polly melihat buku kecil tergeletak di atas lemari pendek yang menempel di pojokan ruangan. Dengan berdebar-debar Polly membuka-buka buku itu.

”Huh...Pipahito bohong, ternyata dia belajar ilmu sihir dari buku ini!” seru Polly kesal,” nah....ini mantra yang diajarinya tadi!”

Polly membaca dengan cepat. Tiba-tiba terdengar langkah Pipahito menuju mendekati Polly. Secepat kilat Polly merobek dua lembar buku sihir itu dan meletakkannya pada posisinya semula.

”Hfff....pasti Pipahito tak akan tahu,” batin Polly, ”cuma dua lembar tak akan membuatnya curiga.”

”Polly, kita makan yuk, ”Pipahito telah berada di depan Polly,”ini ada kue bola isi kismis dari Nesya, temanku.”

Polly mengikuti Pipahito ke dapur dengan hati masih berdebar-debar, takut kalau Pipahito mengetahui perbuatannya barusan.
*************

Hari ini Polly pun harus pulang. Walax, burung rajawali milik Pipahito yang mengantarnya sampai ke halaman rumahnya. Ibunya, nyonya Berto dan teman-temannya, Lodi, Lovina dan Betsy telah menunggu di depan rumah.

”Polly, bagaimana kisahmu di sana?” tanya Lovina.

”Seru sekali!” ujar Polly dan ceritanya mengalir cepat membuat iri teman-temannya.

”Aku pun bisa menyihirmu menjadi kelinci,” kata Polly bangga.

”Ah..yang benar, Polly?” tanya Lodi tidak percaya, ”kau kan paling malas kalau belajar!”

Polly jengkel sekali. Diingat-ingatnya mantra yang telah dipelajarinya dari Pipahito. Uggg...tapi mantranya apa ya? Wah....ternyata Polly sudah lupa mantera yang diajari oleh Pipahito padanya kemarin. Sebentar...Polly ingat dengan dua lembar buku sihir yang dicurinya. Dirogohnya tangannya ke saku celananya. Ini dia!

”Wah.....mantranya kau baca ya, Polly?” ledek Lodi geli. Tapi Polly tidak menghiraukan ejekan Lodi dan cekikikan geli Lovina dan Betsy.

”Abrakadabra....abrakadabri....jadinyaakuginigitu...ini..itu...jadilah kodok!” Polly berkomat-kamit mengikuti petunjuk dari lembaran buku sihir.

Whussssss........tiba-tiba Polly menghilang dari pandangan.

”Polly, kau di mana?” seru Betsy.

Polly kaget. Dia merasakan sensasi aneh di tubuhnya. Di depannya tampak Lovina, Lodi dan Betsy kebingungan.

”Grook..grook......”seru Polly.

”Haaah....Polly...kau kah kodok hijau ini?”tanya Lovina kaget ketika. Bukan saja Lovina yang kaget, tapi dia lebih kaget ketika mendapati dirinya menjadi kodok. Oh...ini tak seperti yang diharapkannya.

”Tolong...aku...grook...tolong...groook...,”rintih Polly. Oh...rupanya Polly telah mencuri mantera yang ditujukan untuk si pembaca mantera itu sendiri.

”Tapi kau kan bisa membaca mantera untuk mengembalikan bentukmu seperti semula kan?”

Polly menangis,”aku tidak tahu manteranya.”

Lovina, Lodi dan Betsy merasa sangat kasihan pada Polly. Nyonya Berto yang mengetahui hal ini sangat marah dan segera menelepon Pipahito. Bukan main kesalnya Pipahito mengetahui hal ini. Apa lagi mengetahui kalau Polly telah mencuri dua lembar buku sihir miliknya.

”Baiklah aku memaafkannya kali ini,”ujar Pipahito, ”bibi, sekarang, bibi ucapkan mantera seperti ini.”

Pipahito mulai mengucapkan mantera dan diikuti oleh nyonya Berto. Whussss.....Polly pun berubah kembali menjadi dirinya lagi.

”Nah....sekarang kembalikan dua lembar buku yang kau sobek itu, Polly!” kecam nyonya Berto,” dan kirim surat pada Pipahito kalau kau menyesal dan minta maaf padanya!”

Polly mengangguk dan tertunduk malu.

”Hff...untung aku tidak menjadi kodok selamanya,” pikir Polly menyesal.



SERIAL POLLY (judul ke I)

POLLY SI BONEKA KAYU


Pagi itu di negeri Palipop, negerinya para boneka kayu, tampak cerah. Matahari menebarkan sinar hangatnya dan menyusup masuk melalui jendela-jendela rumah. Para Penduduk menyambut pagi dengan penuh semangat dan memulai kegiatan sehari-hari mereka. Anak-anak pun tak kalah riangnya, mandi pagi, sarapan dan bersiap-siap ke sekolah.


Namun dari sebuah rumah mungil berbentuk kue yang atap dan dinding luarnya berlumurkan cat berwarna putih dengan batu-batu merah yang menyerupai buah strawberry menghiasi atapnya, terdengar suara nyonya Berto sedang menggedor pintu kamar dengan keras. Raut mukanya terlihat kesal dan cemas.

"Polly, bangun, ini sudah pukul tujuh!" Nyonya Berto berteriak.

Polly, boneka kayu yang pemalas, keluar dari kamar. "Polly ngantuk bu, hari ini tidak usah sekolah ya," katanya sambil menguap.

"Tidak boleh, kamu harus sekolah! Betsy, Lodi, dan Lovina tadi menjemputmu, tapi mereka tidak mau menunggu kamu terlalu lama," ujar nyonya Berto gemas.

"Tapi Polly lupa mengerjakan PR matematika," rengek Polly. Kebayang olehnya, Pak Todry guru matematika akan menghukumnya berdiri di depan kelas sampai jam sekolah usai bila dia tidak menyerahkan PR matematika.

"Salah kamu sendiri, Polly. Kemarin sudah ibu ingatkan, makanya jangan main terus sampai malam. Ayo Mandi sana!" seru Nyonya Berto marah.

Polly mandi dengan malas. Mandinya asal kena air saja. Nyonya Berto terus mengawasinya. Baru lega ia setelah Polly keluar rumah, berangkat ke sekolah dengan berbekal dua potong roti keju karena tak sempat sarapan.

Di sekolah, Pak Todry membawa khabar yang menggembirakan. Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Anak-anak, bapak mendapat surat dari kerajaan Palipop. Ratu Greta mengundang anak-anak yang pandai untuk berlibur ke istana dan berkunjung ke negeri boneka kain saat liburan sekolah tiba, " jelas Pak Todry.

Anak-anak saling pandang tak percaya. Mereka membayangkan istana Palipop yang katanya Pak Todry sangat indah. Bayangkan saja, pilar-pilar istananya dibikin seperti permen warna-warni, dan di samping istana terdapat taman bunga yang besar dan cantik. Ditambah lagi berlibur ke boneka kain yang penuh dengan aneka permainan anak-anak, hmm....sungguh mendebarkan.

"Tapi jangan senang dulu. Ini adalah undangan untuk anak-anak yang terpilih. Akan ada ujian untuk kalian," tambah Pak Todry, dan kelas pun riuh.

"Nanti kalau ujian, aku liat jawaban kamu ya," bisik Polly pada Betsy. "Nanti aku kasih coklat yang besar deh."

Betsy yang doyan makan itu mengangguk senang. Memberi contekan dengan mendapat balasan coklat sungguh menggiurkan. Tadi saja dia telah melahap dua potong roti keju, setelah Polly menyalin PR Matematika miliknya. Selama ini cuma dia yang mau memberi contekan pada Polly. Anak-anak yang lain sudah sepakat tidak akan memberi contekan pada Polly. Hanya Betsy, yang terus membantu Polly berbuat curang, dengan diam-diam, tentunya demi sepotong kue, sekantong permen atau sekotak coklat.

Beberapa hari berselang, ujian penentuan diadakan. Betsy, Lovina, Lodi, dan teman-teman sekelas Polly yang lain sudah belajar dengan giat.

"Semoga kita lulus semua ya," harap Lodi pada teman-temannya.

"Iya. Eh, Polly, kamu sudah belajar kan?" tanya Lovina.

"Tentu dong," sahut Polly, bibirnya menyungging senyum. Padahal dia tidak belajar sama sekali. Yang dia lakukan selama ini hanyalah merayu Tuan Berto, ayahnya, untuk membelikan satu kantong permen dan satu kotak besar coklat dari toko di negeri makanan untuk ditukarkannya dengan contekan dari Betsy. Diliriknya Betsy yang sedang mengulum permen di sebelahnya.

Pak Todry masuk kelas bersama seorang lelaki berpakaian putih dengan jubah hitam penuh manik-manik. Dia adalah Tuan Alfa, pengajar kerajaan. Soal-soal pun dibagikan. Anak-anak mengisi jawaban dengan tegang. Polly tak henti-hentinya menendang kaki Betsy yang duduk di depannya. Ketika waktu telah habis, Polly mengumpulkan lembar jawaban dengan tersenyum lega.

*********

Hari ini pengumuman hasil ujian. Anak-anak menunggu dengan harap-harap cemas. Hati kecil mereka yakin kalau mereka akan lulus karena mereka telah menjawab soal dengan sebaik-baiknya. Pak Todry mulai membacakan nama-nama yang lulus. Lovina, Lodi, dan anak-anak lainnya bersorak gembira ketika diumumkan lulus. Hampir seluruh anak lulus, kecuali dua anak yang menunggu dengan muka pucat.

"Kok nama saya tidak disebutkan Pak?" tanya Polly bingung.

"Kamu dan Betsy ikut saya ke ruang guru. Saya dan Pak Alfa curiga kalian bekerja sama atau salah satu dari kalian mencontoh jawaban yang satunya. Jawaban kalian benar-benar sama, dari kata-katanya sampai pada titik dan komanya. Tidak ada perbedaan satu pun!” kata Pak Todry.

Polly dan Betsy tertunduk lesu mengikuti Pak Todry di ruang guru. Di sana sudah ada Pak Alfa. Jantung mereka berdegup kencang ketika Pak Alfa mulai menanyai mereka. Akhirnya terbongkarlah rahasia Polly dan Betsy selama ini. Pak Todry dan Pak Alfa geleng-geleng kepala melihat ulah Polly dan Betsy.

Akhirnya liburan sekolah datang. Lovina, Lodi dan anak-anak yang lain begitu gembira. Mereka bertemu dengan ratu Greta yang cantik dan baik hati dan berkenalan dengan teman-teman dari negeri boneka kain.

Sayangnya Polly tidak bisa ikut karena harus mengikuti pelajaran dari Pak Alfa selama liburan sekolah. Betsy diizinkan berkunjung ke istana Palipop, tapi cuma satu hari, dan tidak bisa berkunjung ke negeri boneka kain, karena harus ikut sekolah bersama Polly. Polly dan Betsy sangat menyesal karena kesempatan emas mereka hilang.

SERIAL SASHI (judul ke V)


KETIKA IBU TAK DI RUMAH


“Hati-hati di rumah ya nak. Pulang sekolah langsung pulang dan jangan kemana-mana,” ibu berpesan pada Sashi.

“Ibu jadi pergi ya?” tanya Sashi. Peri kecil itu menatap ibu penuh harap semoga ibu tidak jadi pergi saja. Baru kali ini ibu meninggalkannya walau cuma sebentar karena besok sore ibu sudah pulang.

Ibu mengangguk dan mencium pipi Sashi yang bewarna kemerah-merahan. Tentu saja ibu harus pergi karena ibu telah berjanji akan datang ke rumah oma. Oma itu ibunya ibu. Dan seminggu yang lalu ibu menerima surat dari oma yang mengabarkan kalau oma akan mengadakan arisan keluarga dan oma membutuhkan bantuan ibu.

“Ibu telah menyiapkan banyak makanan di lemari dapur dan di lemari pendingin jadi Sashi tak akan kelaparan,” kata ibu mencoba menghiburnya.

Sashi mengangguk.

“Sekarang ibu pergi ya sayang, cup cup,” ibu menciumi Sashi lagi. Dengan lesu Sashi membalas lambaian tangan ibu. Sekarang saja dia sudah sendiri karena ayah mengantar ibu sampai di depan jalan. Karena rumah oma jauh dari rumah mereka, ibu tidak terbang seperti biasanya tapi menumpangi kereta kuda pak Greto tetangga mereka.

Sepi sekali tidak ada ibu di rumah. Biasanya ibu selalu sibuk di dapur dan Sashi suka sekali menunggui ibu membuat kue. Ibu memang hobi membuat berbagai makanan dan Sashi paling senang kebagian mencicipi masakan ibu. Tapi sekarang dapur sepi tanpa ibu. Kalau begini Sashi sudah kangen saja sama ibu.

“Sashi, kita main ke rumah Rose yuk,” tiba-tiba Felika, tetangganya dan juga teman sekelasnya sudah muncul di depan Sashi.

“Aku tidak boleh keluar rumah, ibuku sedang pergi,” ujar Sashi menyesali tidak bisa menemani Felika main.

“Ya sudah kita main di rumahmu saja ya,” kata Felika. Felika memang teman yang baik, dia mengerti kalau Sashi merasa kesepian.

Sashi senang ada Felika. Untuk sementara dia bisa melupakan rasa kangennya pada ibu.

Esok harinya sepulang dari sekolah segera setelah berganti pakaian, Sashi langsung menuju dapur. Perutnya terasa lapar. Biasanya ibu yang membukakan pintu untuknya dan langsung menyiapkan sup hangat dan puding buah kesukaan Sashi. Tapi hari ini Sashi harus menyiapkan makanan sendiri.

Sashi membuka lemari pendingin. Ada telur, puding coklat dan es buah. Kemudian dibukanya lemari dapur, berbagai roti dengan potongan besar-besar sungguh membangkitkan seleranya. Sashi mengambil sepotong roti kismis besar dan dua potong kue jahe, sebutir telur, semangkuk kecil puding coklat dan segelas es buah lalu siap menyantap makan siangnya. Ibu memang baik sekali telah menyiapkan semua makanan kesukaannya.

Perutnya sudah kenyang. Kalau ibu ada biasanya ibu langsung membereskan piring-piring dan gelas setelah habis ia pakai. Untunglah Sashi sering memperhatikan cara ibu mencuci piring dan gelas. Sekarang dia mencoba untuk melakukan apa yang selalu dilakukan ibu. Piring-piring dan gelas kotor dikumpulkan dalam satu baskom besar dan kemudian dibawa ke tempat pencucian piring. Ada sabun di dekat keran air. Dan Sashi mulai mencuci piring dan gelas dengan hati-hati. Yah harus hati-hati karena piring dan gelas terbuat dari kaca beling yang gampang sekali pecah. Setelah itu Sashi mengelap piring-piring dan gelas yang masih basah dengan lap kecil yang tergantung di dinding dan menyusunnya kembali di rak.

Sekarang beres. Uff….ternyata capek juga membersihkan piring dan gelas. Apa lagi ini pertama kali Sashi melakukannya. Tapi Sashi lega melihat hasil kerjanya. Senang juga rasanya melihat piring-piring dan gelas kembali mengkilap dan tersusun di rak.

Tiba-tiba terdengar pintu depan di ketuk. Rupanya Rose dan Felika yang datang.

“Sedang ngapain, Sashi? Tanganmu itu kenapa basah?” tanya Rose.

Dengan bangga Sashi bercerita pada teman-temannya kalau dia habis mencuci piring dan gelas. Felika dan Rose menatapnya kagum ketika Sashi mengajaknya melihat hasil kerjanya. Sashi lalu menawarkan mereka makan puding coklat dan minum es buah. Kedua temannya mengangguk senang. Mereka asyik sekali makan sambil ngobrol di dapur.

“Wah, lemari dapur di sini besar sekali ya, uuhh..kalau aku jadi kau pasti sudah aku jadikan tempat main petak umpet,” cetus Rose ketika melihat lemari besar tempat ibu menyimpat berbagai penganan di pojok dapur.

“Hihihi….aku juga suka sembunyi di sana sampai ibu bingung mencariku ke mana-mana,” Sashi bercerita, “tapi sekarang kau tak bisa main di sana karena banyak sekali roti yang ibu simpan di lemari itu.”

“Kecuali kalau kau sanggup menghabiskan semua makanan di sana,” canda Felika.

Rose dan Sashi tertawa.

“Sekarang giliran aku yang mencuci piring-piring ini ya,” kata Felika. Dikumpulkanya semua piring kotor untuk dicuci.

“Dan aku yang mengepel lantainya,” seru Rose.

“Terus aku yang membereskan meja makan,” Sashi tak mau kalah.

Ketiga peri kecil yang hari ini begitu manis-manis itu mulai mengerjakan tugas mereka dengan hati-hati. Tidak sulit memang dan mereka menyenanginya. Tidak lama kemudian, pekerjaan selesai dan lihatlah dapur terlihat bersih sekali.

“Asyik ya bersih-bersih,” komentar Rose. “Aku sering membantu ibuku mengepel lantai.”

“Aku tidak pernah,” Sashi mengaku, “ternyata banyak sekali pekerjaan ibu-ibu kita ya.”

“Benar,” sahut Felika. “Eh, Sashi, boleh tidak kalau kita membersihkan rumah kamu. Nanti kalau ibumu pulang, dia pasti senang melihat rumah sudah bersih kembali.”

Sashi dan Rose mengangguk setuju dengan usul Felika. Bertiga mereka lalu mencari sapu, kain pel dan ember berisi air yang bercampur obat pembersih untuk membilas kain pel. Ternyata membersihkan rumah itu menyenangkan juga apa lagi jika dilakukan dengan hati gembira dan bersenandung riang.

“Sudah beres…..”seru Rose. Telapak tangannya kotor tapi dia tak peduli.

“Sekarang kita yang harus dibersihkan,” ujar Sashi riang,” siapa yang mau mandi lebih dulu?’

Akhirnya mereka mandi bergiliran. Ketika waktunya pulang, Sashi mengucapkan terima kasih pada Rose dan Felika. Tapi Felika bilang, itulah gunanya teman, selalu ada waktu untuk saling membantu.

Tok..tok…suara pintu diketuk. Sashi menghambur menuju pintu depan. Dia tahu diluar ada ibu dan ayahnya karena sore tadi ayah bilang padanya akan menjemput ibu.

“Sashi…”terdengar ibu memanggil.

Sashi membuka pintu dan langsung memeluk ibu yang berdiri di depan pintu.

“Sashi kangen sama ibu,” Sashi kolokan.

Ibu menggandeng lengan Sashi dan masuk ke rumah. Mata ibu memandang sekeliling rumah dan betapa terkejutnya ibu melihat ruang tamu, kamar dan dapur tampak rapi dan bersih. Padahal ketika ibu pergi kemarin, ibu tidak sempat untuk merapikan isi rumah.

“Ayah?” tanya ibu pada ayah.

“Jangan tanya sama ayah dong….coba ibu tanya pada peri mungil kita yang cantik jelita,” ayah berseloroh dan mengerdipkan mata pada Sashi.

“Ohya?’ ibu menatap Sashi.

Sashi tertawa. Kali ini ibu pasti tak akan percaya akan ceritanya. Dengan bangga Sashi menceritakan apa yang telah ia, Felika dan Rose lakukan.

“Wah…ini peri kecil ibu yang hebat sekali. Terima kasih ya sayang, besok sampaikan salam dan terima kasih ibu untuk Felika dan Rose ya,” ujar ibu senang.

Sashi mengangguk dengan mata berbinar. Duh…senangnya bisa membantu ibu dan membuat hati ibu gembira.