Sunday, February 18, 2007

SERIAL POLLY (judul ke IV)

MUSIM DINGIN DI NEGERI PALIPOP

Musim dingin menyelimuti negeri Palipop. Anak-anak bersuka ria karena sebentar lagi salju akan turun. Mereka telah menyiapkan papan luncur yang telah beberapa lama tersimpan di gudang, kini bisa digunakan kembali. Hmm....meluncur dari bukit salju dengan papan peluncur sangat mengasyikkan. Tapi bagi Polly yang paling menyenangkan adalah meluncur di atas sungai kecil di depan rumahnya yang tak lama lagi akan membeku menjadi es yang berkilat.

Pagi ini sekolah Polly libur. Tapi bila biasanya Polly akan tetap bermalas-malasan di tempat tidurnya yang hangat, pagi ini dia langsung melompat turun dari tempat tidur. Buru-buru dia mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian yang lebih tebal, mengenakan sarung tangan dan kaos kaki wol, tutup kepala dan mantel hangat.

”Cuaca masih dingin sekali, Polly!” seru Nyonya Berto, ibu Polly dari dapur ketika dilihatnya Polly tampak mencari sepatunya yang tersimpan di belakang pintu dapur.

”Aku cuma ingin duduk-duduk di depan rumah saja, bu,” Polly berbohong. Tentu saja, kalau tidak, ibunya pasti akan marah dan mengurungnya di dalam rumah. Ugg.... bosan sekali!

”Tapi kau belum sarapan,” ujar nyonya Berto, ”makanlah dulu, ini ada sosis panggang.”

”Nanti saja bu, sebentar lagi,”seru Polly cepat lalu buru-buru keluar rumah sebelum ibunya bisa mencegahnya lagi.

Tapi di luar masih gelap dan sepi. Sepertinya anak-anak lebih memilih mengurung diri di dalam rumah mereka yang hangat daripada bermain di luar rumah.

”Dasar anak-anak pemalas,” gerutu Polly. Tadinya dia mengira, sahabat-sahabatnya, Lodi, Lovina dan Betsy sedang asyik bermain di luar.

Salju memang belum turun pagi ini tapi lihatlah rumput sudah membeku. Rasanya asyik sekali ketika menginjak rumput yang biasanya lembut dan tampak hangat tapi kini terdengar bunyi berderik.

”Kalau begitu, sungai kecil itu pasti sudah membeku, asyik sekali,” kata Polly senang.

Dengan semangat ia melangkahkan kakinya menuju sungai kecil yang memang tampak berkilap. Ditapakinya kakinya menyentuh sungai yang tampak membeku itu.

”Betulkan sudah menjadi es!” Polly berdesis, mulutnya tampak mengeluarkan asap putih. Itu adalah kepulan nafasnya yang sekarang tampak kedinginan.

”Asyik, aku bisa meluncur di es sekarang,” seru Polly senang.

Sungai kecil yang biasanya mengalir tenang kini tampak licin dan berkilat. Polly sudah melangkah sampai ke tengah sungai.

”Aku akan meluncur ke arah rumah Betsy,” gumam Polly, ”nanti kuajak dia ikut meluncur bersamaku.”

Rumah Betsy memang letaknya paling dekat dengan rumah Polly dibandingkan dengan rumah Lodi dan Lovina yang letaknya lebih jauh beberapa rumah.

Polly mulai meluncur dengan gembira. Kini dia sudah semakin jauh saja rasanya.

”Seandainya sungai ini membeku selamanya, tentu asyik sekali,” gumam Polly senang. Tiba-tiba....

”Oh....oh...”Polly kaget sekali ketika es yang ditapakinya pecah dan seolah mencair dan...

”Toloongggg........!” Polly menjerit takut. Dia terperosok ke dalam bagian sungai yang ternyata masih belum membeku. Polly berusaha naik ke atas tapi percuma, air dingin di kiri kanannya semakin melebar.

Tapi tak ada yang lewat, semua tampak sunyi.

”Oh...tolong...hiks.....”Polly mulai menangis. Badannya semakin terbenam dan menggigil, ”Tolooonggg.....”jerit Polly semakin pelan. Dari mulutnya tampak semakin banyak kepulan asap putih yang keluar.

”Astaga, kau kah itu Polly?” teriak satu suara. Polly mendongak mencari asal suara itu. Tampak di pinggir sungai, ayah Betsy menatapnya kaget.

”Tunggu disitu, jangan bergerak-gerak,” seru ayah Betsy cepat.

Polly menunggu dengan tubuh semakin lemah karena menggigil. Untunglah ayah Betsy cepat datang dan menarik tubuhnya dari benaman air es yang dingin dan membopongnya keluar dari sungai.

”Kau ini nakal sekali, Polly,” tegur ayah Betsy ketika dalam perjalanan mengantar Polly pulang ke rumahnya.

”Sungai itu akan membeku paling tidak masih tiga hari lagi. Seharusnya kau harus mengetes kekuatan es dulu dengan memukul tongkat keras-keras pada esnya. Tidak langsung meluncur seperti itu,” marah ayah Betsy, ”ah...andai aku tak melihatmu tadi...”

Polly cuma diam. Tubuhnya yang menggigil membuatnya tidak ingin apa-apa lagi kecuali minum susu hangat dan berselimut di tempat tidurnya yang hangat. Ketika sampai di rumah, nyonya Berto geram sekali mendengar cerita dari ayah Betsy.

”Terima kasih tuan Doti,” kata nyonya Berto pada ayah Betsy. Setelah ayah Betsy pulang, Polly tak henti-hentinya diomelin olehnya.

”Anak bandel, cepat ganti pakaianmu dengan baju tidur hangat,” perintah nyonya Berto, ”dan sebelumnya habiskan dulu segelas susu hangat ini.”

Lima hari ini, Polly terkena demam dan flu yang berat. Untunglah sekolah masih libur jadi dia tidak akan ketinggalan pelajaran. Tapi Polly tampak sedih sekali. Dengan memandang dari balik jendela kamarnya, Polly melihat tampak teman-temannya, Lodi, Lovina dan Betsy tampak asyik sekali meluncur di sungai yang telah benar-benar membeku.

”Daggh....Polly.......”seru Lodi yang kebetulan melihatnya.

Ugh....Polly cuma bis merengut. Bibirnya mengatup kesal.

”Seandainya aku lebih sabar, tentunya aku bisa main bersama mereka sekarang,” keluh Polly, ”hattssssyihhh....!”

Polly buru-buru menutup jendela kamarnya. Ugg....berdiri di depan jendela saja sudah pilek begini.

”Semoga pilekku ini cepat sembuh,” do’a Polly lalu berbaring di tempat tidurnya yang hangat.

No comments: